Tuesday, July 12, 2016

Kedudukan Pujangga di Kerajaan Jawa


Dalam sejarah kraton Jawa dikenal dua istilah penting, yang tidak selalu menjadi subyek perhatian bagi ilmu sejarah dan para pakar sejarah modern. Dua istilah tersebut ialah nujum kraton dan pujangga kraton. Terkadang ahli nujum dan pujangga kraton disamakan, sedangkan menurut sejumlah sumber lisan, dua predikat tersebut dapat dibedakan dan dapat disamakan, hal itu bersifat insidental. Dapat dibedakan karena, pada dasarnya ahli nujum kraton menyandang tugas dan kewajiban yang tidak sama dengan pujangga kraton. Kedudukan ahli nujum kraton jelas berbeda dengan kedudukan pujangga kraton. Seorang ahli nujum kraton, yang antara lain dipercaya sang raja atau sang ratu untuk melakukan deteksi dan memberikan wawasannya mengenai kraton dan kerajaannya, dia juga sudah terlibat ke dalam kesibukan tersendiri. Di situ pun, termasuk memberikan antisipasi terhadap prediksi-prediksi yang diketahui pada masa kini dan masa depan, terutama yang terkait langsung dengan kesejahteraan dan keamanan wilayahnya ketika suatu kraton dan kerajaan mustahil mengisolasi diri dari interaksi dengan kraton dan kerajaan lain.
            Pemeo yang diperkatakan khalayak bahwa, “Sabda pandita ratu” alias seorang raja apabila berbicara tidak dibolak-balik supaya dipercaya rakyatnya dan tidak pudar aura pamornya. Secara tersamar maupun terang-terangan, sebenarnya di situpun sudah melemparkan indikasi konkret : sebelum seorang penguasa tertinggi suatu kerajaan menitahkan sesuatu kepada kawulanya, lebih dahulu dia berkonsultasi dengan staf kepercayaannya, sehingga apa yang dikatakan tidak lagi mengalami pencabutan dan sensor ulang. Dalam proses olah wisdom lisan atau wisdom tulis itulah, ahli nujurn kraton ikut aktif mernberikan pertimbangan.
Dapat disamakan karena, tidak jarang seorang ahli nujum kraton merangkap predikat selaku pujangga kraton. Pujangga kraton pada dasarnya adalah predikat yang diberikan pihak kraton kepada orang yang menggubah karya sastra : pada zaman Jawa-Budha dan Jawa-Hindu, pujangga kraton memperoleh julukan Empu. Tapi pada zaman Jawa-Islam, pujangga kraton memperoleh julukan Kyai. ltulah sebabnya, mengapa dikenal nama Empu Kanwa, Empu Sedah, Empu Tantular, Empu Tanakung, Empu Prapanca. Itulah pula sebabnya, mengapa dikenal nama Kyai Jasadipura dan Kyai Ronggowarsito. Sebutan-sebutan Empu dan Kyai pada hakekatnya menyimpan konvensi yang aktual dan berlaku pada era zaman masing-masing.
            Taktahulah perihal Ronggowarsito, apakah sosok tersebut dapat dikategorikan pujangga yang merangkap ahli nujum kraton atau tidak. Para penelaah dan pakar sastra Jawa Madya dapat melakukan tinjuan lebih jauh, khususnya pada konteks karya-karya pujangga yang disemayamkan di desa Palar ini dalam hubungannya dengan nujum kraton terhadap zamannya dan zaman selebihnya.
            Jika sampai terjadi anggapan bahwa, seorang pujangga kraton sekaligus ahli nujum kraton, sebenarnya hal itu berasal dari satu-dua perkecualian akan tetapi diterapkan pukul rata. Citra tersebut muncul, rnungkin berkat ketidaktahuan dan mungkin berkat hasrat yang bercorak “exagerasi”, suatu dorongan untuk membesar-besarkan citra dan peran. Hal itu lumrah karena, dalam tradisi budaya komunitas lisan menanggung resiko pengaburan makna dan kabar kabur.
            Belum pernah dalam sejarah sastra Jawa dapat menyaksikan kontras perbandingan dalam kesaksiannya, yang jernih dan bening seperti zaman kini. Selain karya-karya yang sudah berhasil diungkapkan para pakar sastra Jawa Kuna dan Jawa Madya, kedudukan dan peranan para pujangga zaman dulu dan pengarang zaman kini berada pada penampang yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Kesaksian tersebut dapat menunjuk kepada bukti konkret, karya sastra yang menjadi alternatif bagi apresiannya.
            Pujangga Jawa Kuna dan Jawa Madya identik dengan pujangga kraton, yang secara jelas terinci dalam dua zaman. Zaman Renaisan Jawa I antara abad 8 sampai 15, yaitu Jawa Budha dan Jawa Hindu. Zaman itupun dapat berlaku surut, mungkin mulai abad I Masehi tapi sukar mencari fakta konkret. Kemudian zaman Renaisan Jawa II antara abad 16 sampai awal abad 20, yaitu Jawa Islam. Jika zaman keemasan I mencapai 7 abad, zaman keemasan II mencapai 5 abad, tapi belum lagi jelas : bagaimana dengan pengarang sastra Jawa Modern. Pujangga Jawa Kuna dapat disebutkan antara lain: Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Triguna, Empu Monaguna, Empu Kanwa, Empu Tanakung, Empu Tantular, Empu Prapanca. Sedangkan pujangga Jawa Madya antara lain: Pakubuwana IV, KGPAA Mangkunegara IV, Pangeran Karanggayam, Jasadipura, Ronggowarsito, Ronggosutrasna, Pakubuwana III, Pakubuwana V, Jasadipura II, Sastranegara, Sastrawiguna, Pakubuwana X.
            Kraton-kraton Jawa Kuna yang menjadi maecenas para pujangga Jawa Kuna antara lain: Kahuripan, Kediri, Singosari, dan Majapahit. Tak pernah lagi tersingkapkan, kecuali menjadi misteri sejarah masa silam ialah, pujangga dan karyanya dan kraton Kalingga, Mataram Kuna, Pengging Witaraja, Pajajaran Pakuhan dan Pejajaran Segaluh, maupun Wanasegara. Tidak lagi terkisahkan, bagaimana dengan pujangga Majapahit yang hijrah ke Bali dan Lombok. Tapi yang jelas, pujangga Jawa Kuna yang tercatat tidak bermukim di Jawa Barat dan Jawa Tengah, melainkan di Jawa Timur. Mungkin eksodus itu menyusuli bencana alam gunung Merapi yang meletus tahun 1030.
            Masa peralihan dari zaman Jawa Kuna ke Jawa Madya tidak pernah jelas. Paling tidak sampai kini, ikhtisar peralihan dari sastra Jawa Kuna ke Jawa Madya belum pernah ditelaah dan dibukukan oleh pakar sastra Jawa Peralihan. Mungkin hanya Serat Gatholoco dan Darmogandul yang digubah oleh pujangga anonim, sebagai perkecualian karena semua pujangga Jawa Kuna dan Jawa Madya secara jelas dan langsung tencantum nama-namanya, dan karya tersebut sangat problematis.
            Di samping itu, dengan Pangeran Karanggayam selaku pujangga kraton Pajang dan Sultan Agung selaku pujangga Serat Sastra Gendhing, mungkin saja dianggap sebagai sosok-sosok yang mengawali pujangga Jawa Madya. Serat Sastra Gendhing itu sendiri, yang diakukan sebagal karya Sultan Agung, sebenarnya sudah mengundang tanda tanya. Dan konteks sejarah kepujanggaan Jawa Kuna, tak pernah terkabar ada raja merangkap pujangga. Sebaliknya, dan klan Mataram Baru terkabar citra raja merangkap pujangga. Bermula Sultan Agung, disusul klan Surakarta dengan Pakubuwana III, IV, dan VI juga X. Di situ sekaligus menampakkan garis perbedaan dalam tradisi kepujanggaan.
            Jawaban atas tradisi klan raja merangkap. pujangga dalam era Jawa Madya selama ini, mungkin diperoleh dari akibat ekspansi kolonial Kompeni Belanda, yang mempersempit wilayah kekuasaan politik dan ekonomi, sehingga raja-raja Surakarta lebih menekankan pada pengembangan sektor kebudayaan.
            Tapi bagaimana dengan pengarang sastra Jawa Modern? Memang pernah, Suripan Sadi Hutomo menyusun buku Antologi Puisi jawa Modern 1940-1980 dan JJ Ras menyusun Bunga Rampal Sastra jawa Modern. Tapi seandainya saja karya-karya dalam dua buku antologi tersebut dijadikan kartu utama untuk menjawab prestasi dan prestise keberadaan sastra Jawa Modern, sudah tentu bahwa, dugaan terhadap pengarang sastra Jawa Modern belum memperlihatkan pamornya akan dibenarkan banyak pihak. Kebangkitan kembali pengarang Jawa Modern yang memakai wahana ekspresi bahasa Jawa Modern masih butuh waktu lebih lama.
            Para pengarang sastra Jawa Modern tidak berasal dan lingkungan kraton, bukan pula berdarah pujangga kraton, akan tetapi berasal dari wilayah pedesaan Jawa. Sesuai dengan trend zaman, mereka pun bergulat dalam kehidupan dan tantangan kongkret, sehingga predikat yang tersemat di bahunya lebih tepat bila dikatakan pengarang urban. Mereka tidak memakai bahasa Sansekerta, tidak pula bahasa Jawa Kuna atau Jawa Kawi, bahkan huruf yang dipakai untuk menulis pun bukan huruf Jawa melainkan huruf Latin.
            Bahasa ekspresinya adalah bahasa Jawa Modern, atau Jawa ngoko atau Jawa krama, yang dengan deras pula menerima masukan kosakata dari bahasa Indonesia dan Inggris. Orientasi budaya yang ditatap bukan lagi kraton tradisional Jawa, karena di sana sudah tidak menjanjikan apa-apa, melainkan tertuju kepada kehidupan kota yang plural dan egaliter, yang sekuler dan belum tertata dengan baik dan mapan. Mereka tidak mungkin mengharap pembenahan segera terhadap segala infrastruktur budaya dan bahasa Jawa Modern. Pihak lain pun lebih melempar kesan formalitas dan retorika lisan. Karena itu, tantangan pengarang sastra Jawa Modern adalah diri mereka sendiri dan tidak mungkin lagi manja pada hadirnya maecenas sastra Jawa Modern, seperti para pujangga kraton Jawa Kuna dan Jawa Madya pada zamannya. Mereka adalah pengarang kota yang bebas.





 DAFTAR PUSTAKA

Dr. Sadewa, Alex. “Dari Pujangga ke Penulis Jawa”. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.1995


No comments:

Post a Comment